Kamis, 05 Juni 2008

KESEMPATAN KECIL MERUPAKAN AWAL YANG BESAR

Rena sedang berjalan sendirian di tepi jalan, panas terik matahari telah memanggang seluruh badannya yang tinggi semampai dengan balutan kemeja dan bawahan rok hitam selutut itu. Ia membawa sesuatu di tangan kirinya dan di tangan kanannya terlihat jelas ia membawa saputangan guna untuk menyeka keringat yang seyogyanya terus mengucur akibat terik matahari yang seperti ingin melumat seluruh nyawa di muka bumi ini. Ia terlihat lelah. Dan baru kusadari di tangan kirinya itu ia membawa seperangkat map yang berisi surat lamaran kerja.
Ia adalah mahasiswi lulusan akuntansi. Bayangkan saja, ia telah menyandang predikat S1. predikat yang tidak mudah diperoleh namun sangat mudah diabaikan. Banyak sekali pengangguran sarjana yang berkeliaran di kota Jakarta ini. Yang bisanya hanya bermalas-malasan di rumah, dan jika ingin hang out bersama teman-teman tinggal minta uang dari orang tua. Mereka kebanyakan berfikir untuk apa bekerja toh uang tinggal minta ke orang tua?
Rena pulang dengan harap-harap cemas. Ia telah seharian mengurus lamaran kerjanya ke berbagai alamat yang mengharuskannya untuk berkeliling kantor pos demi mendapatkan cap pos yang diminta. Apalagi sekarang ini mengurus KTP sudah dipersulit. Bertambahlah penderitaan yang dialami Rena saat ini. ia menanti kabar dari perusahaan yang telah dilamarnya.
Ia tinggal dengan sejahtera bersama adik dan kedua orang tuanya. Ayahnya seorang Manager di perusahaan ternama.
“Ren, kamu masih belum dapat kerja sampai sekarang?” tanya ayahnya yang prihatin atas nasib putrinya yang telah menyandang predikat S1 namun belum kunjung mendapat pekerjaan.
“belum yah, habis gak ada yang cocok sama aku..”
Rena memang mengambil jurusan akuntansi, namun ia sebenarnya tidak menyukai bidang itu. Dan sesungguhnya ia memilih badang itu hanya untuk membuat ayahnya senang.
“Yaudah, kamu siapin surat lamaran kerja aja, di kantor ayah lagi ada lowongan.”
Bingung, resah, namun ingin. Rena sangat tidak menyukai kekosongannya hari demi harinya. Ia juga ingin seperti teman-temannya yang telah sibuk dengan pekerjaan yang telah digeluti. Ia ingin menerima tawaran ayahnya. Namun ia sangat lemah. Hatinya kaku. Ia telah membohongi dirinya sendiri. Rasa inginnya bekerja telah luntur akibat ketakutannya sendiri.
Ia takut bekerja di kantor yang sama dengan ayahnya. Ia takut berbuat salah di kantor itu, ia takut semua aktifitasnya dilaporkan kepada ayahnya. Ia takut tidak bisa bebas. Ia takut tidak dapat menjaga nama baik ayahnya. Ia takut tidak cocok dengan pekerjaan itu dan akhirnya berdampak pada nama baik ayahnya. Sesungguhnya ketakutan itu hanya untuk Allah.
Gisha salah satu sahabat Rena telah ditawarkan kesempatan langka ini. Gisha sangat tertarik. Ia langsung melengkapi seluruh persyaratan yang diminta. Dengan tanpa sepengetahuan ayah Rena, lamaran Gisha pun langsung diserahkan ke perusahaan tersebut.
Setelah waktu yang ditentukan telah tiba. Ayah Rena pulang dengan kabar gembira.
“Ren, besok kamu sudah bisa ikut ayah ke kantor, mulai kerja.”
“hah? Apa yah? ” Rena sangat tidak menyangka. Ia pikir lamaran Gisha tempo hari tidak akan di gubris. Ternyata salah. Ia bingung.
Rena akhirnya mengaku kepada ayahnya bahwa lamaran yang dikirim tempo hari bukanlah surat lamarannya, melainkan lamaran Gisha. Kesal bukan main.
“Ayah, sebenarnya aku belum mengirim surat lamaran kerja.. tapi yang waktu itu, Gisha yang mengirim..” Rena menunduk. Rasa tak percaya membuncah.
“Maksud kamu? Terus yang waktu itu ayah bawa itu punya siapa? ” sahut ayahnya yang menjadi bingung apa yang sebenarnya terjadi.
“Gisha…”
Rasa bahagia sang Ayah kini musnah. Hancur akibat ulah Rena yang sering mengabaikan kesempatan demi kesempatan yang ada. Tidak menyangka. Bisa memperkerjakan orang lain namun anaknya sendiri belum bekerja. Sang Ayah sangat berharap bisa melihat anaknya bisa bekerja layaknya pegawai pada umumnya dan dapat menerima gaji seperti apa yang diinginkan Rena. Ayahnya sangat ingin melihat putrinya dapat berguna. Tidak menjadi pengangguran yang semakin meningkat saja tiap tahunnya di Jakarta ini. ayahnya yang setiap hari bergelut di jalan raya, selalu melihat hilir mudik para pengemis dan pemulung yang semakin hari bukannya berkurang malah semakin bertambah. Sosok-sosok penghuni kolong jembatanpun belum nampak pindah dari habitatnya. Kriminal pun tak dapat di elakan. Suatu ketika Ayah Rena pernah kecolongan spion. Padahal saat kejadian itu di dalam mobil ada orangnya. Ayah Rena tentunya. Kejadian sangat cepat dan sangat profesional. Saat jalan macet kriminalitas beraksi. Itu hanya salah satu dari ribuan cara para kriminal beraksi. Itu semua terjadi tidak lain ya karena pengangguran merajalela.
Tawaran emas telah di acuhkan oleh Rena. Ia menganggap enteng kesempatan kecil itu. Setelah ia memberikan tawaran itu kepada Gisha, ia pikir Gisha tidak akan diterima di perusahaan ternama itu. Tidak. Gisha mengabarkan bahwa dirinya telah diterima di kantor ayah Rena. Rena iri? Belum. Rena masih berfikir ‘huf.. kasihan Gisha harus setiap hari berangkat seperti anak sekolah jam 6 pagi dan pulang jam 4 sore dengan gaji yang bisa kuperoleh dengan meminta ke mama..’
Sebulan berlalu ternyata Gisha sangat menikmati pekerjaan barunya itu. Rena yang masih pengangguran semakin heran dan penasaran.
“Ayah aku sekarang mau deh kerja di kantor ayah..”
“Sudah tidak ada lowongan, terlambat.” Ayah Rena ketus.
Rena sangat menyesali perbuatannya. Sangat. Ia sadar bahwa memilih sesuatu tanpa bekerja keras itu akan membuahkan hasil nihil. Ia sadar bahwa setiap kesempatan yang kecil merupakan awal yang besar. Ia sadar bahwa jika terlalu over memilih-milih sesuatu, pada akhirnya tidak akan mendapatkan apa-apa. Ia sadar kesempatan itu tidak datang dua kali. Mulai saat itu juga dia tidak akan menyia-nyiakan semua kesempatan yang datang.

_Selesai_

Tidak ada komentar: